Friday, February 15, 2013

Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mempertinggi derajat kesehatanmasyarakat. Demi tercapainya derajat kesehatan yang tinggi, maka wanita sebagai penerima kesehatan, anggota keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan harus berperan dalam keluarga, supaya anak tumbuh sehat sampai dewasa sebagai generasimuda. Oleh sebab itu wanita, seyogyanya diberi perhatian sebab :
(1)     Wanita menghadapi masalah kesehatan khusus yang tidak dihadapi pria berkaitan dengan fungsi reproduksinya, (2) Kesehatan wanita secara langsung mempengaruhi kesehatan anak yangdikandung dan dilahirkan, (3) Kesehatan wanita sering dilupakan dan ia hanya sebagai objek dengan mengatasnamakan pembangunan´ seperti program KB, dan pengendalian jumlah penduduk, (4) Masalah kesehatan reproduksi wanita sudah menjadi agenda Intemasionaldiantaranya Indonesia menyepakati hasil-hasil Konferensi mengenai kesehatanreproduksi dan kependudukan (Beijing dan Kairo) (Dewi, 2012).
Berdasarkan pemikiran di atas kesehatan wanita merupakan aspek paling penting disebabkan pengaruhnya pada kesehatan anak-anak. Oleh sebab itu pada wanita diberi kebebasan dalam menentukan hal yang paling baik menurut dirinya sesuai dengan kebutuhannya di mana ia sendiri yang memutuskan atas tubuhnya sendiri.
1.2  Rumusan Masalah
1.2.1   Apa konsep kesehatan reproduksi?
1.2.2   Bagaimana cara mengenali masalah pada kesehatan reproduksi?
1.2.3   Apa konep gender?
1.2.4   Bagaimana kesehatan reproduksi dalam prespektif gender?
1.3  Tujuan Penulisan
1.3.1   Untuk mengetahui teori dan konsep kesehatan reproduksi.
1.3.2   Untuk mendalami masalah kesehatan reproduksi.
1.3.3   Untuk mengetahui teori dan konsep gender.
1.3.4   Untuk mengetahui seberapa besar peran gender dalam kesehatan reproduksi


BAB 2
PEMBAHASAN
2.1  Konsep Kesehatan Reproduksi
2.1.1   Pengertian Kesehatan Reproduksi
Menurut WHO (1992) sehat adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental, dan sosial yang utuh, bukan hanyabebas dari penyakitatau kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistemreproduksi, fungsi serta prosesnya (Dewi, 2012).
Menurut UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiaporanghidup produktif secara sosial dan ekonomi (Dewi, 2012).
Di Indonesia, pada Lokakarya Nasional tentang Kesehatan Reproduksi di Jakarta (1996), telah disepakati bahwa definisi kesehatan reproduksi mengacu pada definisi WHO, keadaan sejahtera fisik, mental, dan sosial secara utuh, yang tidaksemata-mata bebasdari penyakit atau kecacatan, dalam semua hal yang berkaitan dengansistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya (Depkes, 2001).
Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sehat mental, fisik dan kesejahteraan sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi serta proses danbukan hanya kondisi yang bebas dari penyakit dan kecacatan serta dibentuk berdasarkan atasperkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan material yang layak,bertakwa pada Tuhan yang Maha Esa,spiritual memiliki hubungan yang serasi, selaras, seimbang antara anggota keluarga dan antara keluarga dan masyarakat dan lingkungan (BKKBN, 1996).
2.1.2   Sejarah Perkembangan Kesehatan Reproduksi
2.1.2.1    Konferensi di Wina, 1993
Mendiskusikan HAM dalam perspektif gender dan isu kontroversial mengenai hak reproduksi. Mendeklarasikan “HAP dan anak perempuan adalah mutlak, terpadu dan merupakan bagian dari HAM (Dewi, 2012).
2.1.2.2    ICPD (International Conference on Population Development)
Disponsori oleh PBB yang dihadiri oleh 180 negara dan bertempat di Cairo Mesir, yang menghasilkan kebijakan program kependudukan (Program Aksi 20 tahun) yang menyerukan agar setiap negara meningkatkan status kesehatan , pendidikan dan hak individu khususnya perempuan dan anak, mengintegrasikan program KB kedalam agenda kesehatan perempuan yang lebih luas (Wallstam, 1977).
2.1.2.3    Konferensi perempuan sedunia ke 4 di Beijing (Fourth World Conference on Women) 1995
Menghasilkan platform 12th Critical Area of concern yang dianggap sebagai penghambat utama kemajuan kaum perempuan.
2.1.3   Ruang lingkup kesehatan reproduksi
Dalam penerapan kesehatan reproduksi pada pelayanan kesehat an dasar diprioritaskan suatu paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Essensial (PKRE), yang meliputi:
2.1.3.1        Kesehatan Ibu. dan Anak Baru Lahir (Safe Motherhood)
Upaya peningkatan derajat kesehatan ibu, bayi (kesehatan ibu dan bayi baru lahir) dan anak dipengaruhi oleh kesadaran dalam perawatan dan pengasuh anak.
Sebagian besar kematian ibu disebabkan oleh faktor kesehatan-kesehatan, antara lain :
a)      Perdarahan saat melahirkan.
b)      Eklamsia.
c)      Infeksi.
d)     Persalinan macet.
e)      Keguguran.
Sedangkan faktor non kesehatan antara lain kurangnya pengetahuan ibu yang berkaitan dengan kesehatan termasuk pola makan dan kebersihan diri.
2.1.3.2        Keluarga Berencana.
Keluarga Berencana dalam hal ini adalah penggunaan alat kontrasepsi. Seperti kita ketahui selama ini ada anggapan bahwa KB adalah identik dengan urusan perempuan.
2.1.3.3        Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk HIV/AIDS.
Dari berbagai jenis PMS yang dikenal, dampak yang sangat berat dirasakan oleh perempuan, yaitu berupa rasa sakit yang hebat pada kemaluan, panggul dan vagina, sampai pada komplikasi dengan akibat kemandulan, kehamilan diluar kandungan serta kanker mulut rahim.
Infertilitas adalah suatu keadaan dimana pasangan yang telah menikah dan ingin punya anak tetapi tidak dapat mewujudkannya karena ada masalah kesehatan reproduksi baik pada suami maupun istri atau keduanya.
a.       Infertilitas primer.
b.      Infertilitas sekunder.
c.       Infertilitas idiopatik.
2.1.3.4        Kesehatan Reproduksi Remaja.
Lembar fakta yang diterbitkan oleh PKBI, United Nations Population Fund (UNFPA) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa setiap tahun terdapat sekitar 15 juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan. Setiaptahun, masih menurut lembar fakta tersebut, sekitar2,3 juta kasus aborsi juga terjadi di Indonesia dan 20 persen nya dilakukan oleh remaja.
Disamping itu dikenal pula paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK), yaitu PKRE yang dilengkapi dengan Pelayanan Kesehatan Reproduksi pada Usia Lanjut.
2.1.3.5        Kesehatan Reproduki Lanjut Usia
Kesehatan reproduksi meliputi kesehatan fisik dan mental setiap individu sepanjang siklus kehidupannya sehingga pemeliharaan kesehatan pascareproduksi (sering juga disebut dengan kesehatan lansia) juga perlu mendapat perhatian kita bersama. Masa pascareproduksi ini ditandai dengan terjadinya penurunan berbagai fungsi alat/organ tubuh (Endang, 2008).
Lansia atau Lanjut usia, menurut WHO : Pra lansia 45–54 tahun, Lansia 55–64 tahun, Aging people 65 tahun keatas. Menurut BKKBN Lansia adalah 60 tahun ke atas.
2.1.4   Hak-Hak Reproduksi
Hak adalah kewenangan yang melekat pada diri untuk melakukan atau tidak melakukan, memperoleh atau tidak memperoleh sesuatu (Sanusi, 2005).
Hak dan kesehatan reproduksi menjadi dua konsep yang tidak terbatas pada persoalan medis organ reproduksi saja (Sanusi, 2005).
Konferensi internasional kependudukan dan pembangunan, disepakati hal-hal reproduksi yang bertujuan untuk mewujudkan kesehatan bagi individu secara utuh, baik kesehatan rohani dan jasmani, meliputi :
2.1.4.1       Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.
2.1.4.2       Hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
2.1.4.3       Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi.
2.1.4.4       Hak dilindungi dan kematian karena kehamilan.
2.1.4.5       Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kehamilan.
2.1.4.6       Hak atas kebebasan dan keamanan yang berkaitan dengan kehidupan reproduksinya.
2.1.4.7       Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari pelecehan, perkosaan, kekerasan, penyiksaan seksual.
2.1.4.8       Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu penetahuan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
2.1.4.9       Hak atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya.
2.1.4.10   Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
2.1.4.11   Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam berkeluarga dan kehidupan kesehatan reproduksi.
2.1.4.12   Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Menurut BKKBN tahun 2000, kebijakan teknis operasional di Indonesia untuk mewujdkan pemenuhan hak-hak reproduksi :
a)    Promosi hak-hak kesehatan reproduksi.
b)    Advokasi hak-hak kesehatan reproduksi.
c)    KIE hak-hak kesehatan reproduksi.
d)    System pelayanan hak-hak reproduksi (Diah, 2012).
Hak asasi manusia yang penting untuk kesehatan reproduksi termasuk :
1)      Hak untuk hidup.
2)      Hak atas keamanan seseorang.
3)      Hak untuk memutuskan jumlah, jarak dan waktu memiliki anak.
4)      Hak atas non-diskriminasi dan kesetaraan.
5)      Hak atas privasi.
6)      Hak atas kesehatan.
7)      Hak untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi.
8)      Hak untuk bebas dari perlakuan yang kejam, merendahkan dan tidak manusiawi.
9)      Hak atas bantuan.
10)  Hak atas manfaat kemajuan ilmiah (Widyaiswara, 2009).
2.2  Konsep Gender
2.2.1     Pengertian Gender
Menurut WHO (1998) Gender adalah peran sosial dimana peran laki-laki dan perempuan ditentukan perbedaan fungsi, perandan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat berubah atau diubah sesuai perubahan zaman peran dan kedudukan sesorang yang dikonstrusikan oleh masyarakat. dan budayanya karena sesorang lahir sebagai laki-laki atau perempuan (Azim, 2012).
Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan atau laki–laki yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah dan atau diubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Gender berasal dari kata “gender” (bahasa Inggris) yang diartikan sebagai jenis kelamin. Namun jenis kelamin di sini bukan seks secara biologis, melainkan sosial budaya dan psikologis. Pada prinsipnya konsep gender memfokuskan perbedaan peranan antara pria dengan wanita, yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan.
2.2.1.1     berarti menjadi laki laki atau perempuan yang mungkin saja berbeda dengan seperangkat kromosom yang dimiliki seseorang
2.2.1.2     merupakan identitas social atau konstruksi social yang melekat pada laki laki dan perempuan
2.2.1.3     berkaitan dengan peran, hak, tanggung jawab, kemungkinan dan keterbatasan yang dipunyai laki laki dan perempuan dalam suatu masyarakat.
2.2.1.4     merupakan atribut social yang terkait dengan bagaimana kita berpikir, apa yang kita yakini tentang apa yang boleh (bisa dilakukan) atau tidak boleh (tak bisa dilakukan) terkait dengan konsep social tentang maskulin dan feminine
2.2.1.5     berkaitan dengan posisi perempuan dan laki laki berkaitan dengan struktur kekuasaan (power).
2.2.1.6     gender (dan peran gender) berubah sepanjang waktu dan bervariasi tergantung budaya.
2.2.2  Peran Gender
Peran gender adalah peran sosial yang tidak ditentukan oleh perbedaan kelamin seperti halnya peran kodrati. Oleh karena itu, pembagian peranan antara pria dengan wanita dapat berbeda di antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya sesuai dengan lingkungan. Peran gender juga dapat berubah dari masa ke masa, karena pengaruh kemajuan : pendidikan, teknologi, ekonomi, dan lain-lain. Hal itu berarti, peran jender dapat ditukarkan antara pria dengan wanita (Agung Aryani, 2002 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003).
Beberapa status dan peran yang dianggap pantas oleh masyarakat untuk pria dan wanita sebagai berikut.
2.2.2.1     Perempuan:
a)   ibu rumah tangga.
b)   bukan pewaris.
c)   tenaga kerja domestik (urusan rumah tangga).
d)  pramugari.
2.2.2.2     Pria:
a)      kepala keluarga/ rumah tangga.
b)      pewaris.
c)      tenaga kerja publik (pencari nafkah).
d)     pilot.
e)      pencangkul lahan.
Dalam kenyataannya, ada pria yang mengambil pekerjaan urusan rumah tangga, dan ada pula wanita sebagai pencari nafkah utama dalam rumah tangga mereka, sebagai pilot, pencangkul lahan dan lain-lain. Dengan kata-kata lain, peran gender tidak statis, tetapi dinamis (dapat berubah atau diubah, sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi).
2.2.3     Berkaitan dengan gender, dikenal ada tiga jenis peran gender sebagai berikut.
2.2.3.1        Peran produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan. Peran ini sering pula disebut dengan peran di sector publik.
2.2.3.2        Peran reproduktif adalah peran yang dijalankan oleh seseorang untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci pakaian dan alat-alat rumah tangga, menyetrika, membersihkan rumah, dan lain-lain. Peran reproduktif ini disebut juga peran di sektor domestik.
2.2.3.3        Peran sosial adalah peran yang dilaksanakan oleh seseorang untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti gotong-royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama. (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peran kodrati bersifat statis, sedangkan peran gender bersifat dinamis. Hal ini dapat dicontohkan sebagai berikut.
a)      Peran Kodrati
Wanita:
(a)    Menstruasi
(b)   Mengandung
(c)    Melahirkan
(d)   Menyusui dengan air susu ibu
(e)    Menopause
b)      Pria:
(a)    Membuahi sel telur wanita.
2.3            Konsep Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender
2.3.1  Isu Mengenai Gender
2.3.1.1     Masalah perempuan dan kemiskinan terjadi karena kemiskinan structural akibat kebijaksanaan pembangunan dan sosial budaya yang berlaku.
2.3.1.2     Kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi perempuan meningkatkan posisi tawar-menawar menuju kesetaraan gender.
2.3.1.3     Masalah kesehatan wanita dan hak reproduksi yang kurang mendapatkan. perhatian dan pelayanan yang memadai.
2.3.1.4     Kekerasan fisik atau non fisik terhadap perempuan dalam rumah tangga maupun tempat kerja tanpa perlindungan hukum.
2.3.1.5     Perlindungan dan pengayoman terhadap hak-hak asasi perempuan secara social maupun hukum masih lemah.
2.3.1.6     Keterbatasan akses perempuan terhadap media massa, sehingga ada kecenderungan media informasi menggunakan tubuh wanita sebagai media promosi dan eksploitasi murahan.
2.3.1.7     Perempuan paling rentan terhadap pencemaran lingkungan seperti air bersih, sampah industri dan pencemaran lingkungan yang lain.
2.3.1.8     Terbatasnya kesempatan dalam potensi diri perempuan.
2.3.1.9     Terbatasnya lembaga2 dan mekanisme yang memperjuangkan perempuan.
2.3.1.10 Perempuan yang berada didaerah konflik dan kerusuhan, banyak yang menjadi korban kekejaman dan kekerasan.
2.3.1.11 Terbatasnya akses ekonomi perempuan untuk berusaha dibidang ekonomi produktif termasuk mendapatkan modal dan pelatihan usaha.
2.3.1.12  Keikutsertaan perempuan dalam merumuskan dan mengambil keputusan dalam keluarga, masyarakat dan negara masih terbatas.
2.3.2   Isu Gender dalam Lingkup Kesehatan Reproduksi
2.3.2.1  Gender dalam Kesehatan Ibu dan Anak Baru Lahir (Safe Motherhood)
Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender sebagai berikut:
a)    Ketidakmampuan perempuan dalam mengambil keputusan dalam kaitannya dengan kesehatan dirinya, misalnya dalam menentukan kapan hamil, dimana akan melahirkan, dan sebagainya. Hal ini berhubungan dengan kedudukan perempuan yang lemah di keluarga dan masyarakat.
b)   Sikap dan perilaku keluarga yang cenderung mengutamakan laki-laki, contohnya dalam mengkonsumsi makanan sehari-hari yang menempatkan bapak atau anak laki-laki pada posisi yang diutamakan daripada ibu atau anak perempuan. Hal ini sangat merugikan kesehatan perempuan, terutama bila sedang hamil.
Faktor penyebab kesenjangan antara lain:
1.      Budaya yang masih membedakan pemberian makanan kepada anggota keluarga.
2.      Masih kurangnya pengetahuan suami dan anggota keluarga tentang perencanaan kehamilan.
3.      Perempuan kurang memperoleh informasi dan pelayanan yang memadai karena alasan ekonomi maupun waktu.
4.      Status dan posisi perempuan yang masih dianggap lebih rendah dan tidak mempunyai posisi tawar yang kuat dalam pengambilan keputusan.
2.3.2.2  Gender dalam Keluarga Berencana
Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender sebagai berikut:
b.    Kesertaan ber-KB dari data SDKI tahun 1997 tentang persentase kesertaan ber-KB, diketahui bahwa 98% akseptor KB adalah perempuan selalu menjadi obyek/target sasaran.
c.    Perempuan tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan metode kontrasepsi yang diinginkan, antara lain karena ketergantungan kepada keputusan suami, informasi yang kurang lengkap dari petugas kesehatan, penyediaan alat dan obat kontrasepsi yang tidak memadai di tempat pelayanan.
d.   Pengambilan keputusan : partisipasi kaum laki-laki dalam program KB sangat kecil dan kurang, namun control terhadap perempuan dalam hal memutuskan untuk ber-KB sangat dominan.
Faktor penyebab kesenjangan:
1.      Lingkungan social budaya yang menganggap bahwa KB urusan perempuan, bukan urusan pria/suami.
2.      Pelaksanaan program KB yang sasarannya cenderung diarahkan kepada kaum perempuan.
3.      Terbatasnya tempat pelayanan KB pria.
4.      Rendahnya pengetahuan pria tentang KB.
5.      Terbatasnya informasi KB bagi pria serta informasi tentang hak reproduksi bagi pria/suami dan perempuan/istri.
6.      Sangat terbatasnya jenis kontrasepsi pria.
7.      Kurang berminatnya penyedia pelayanan pada KB pria.
2.3.2.3  Gender dalam Kesehatan Reproduksi Remaja
Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) secara umum didefinisikan sebagai kondisi sehat dari sistem, fungsi, dan proses alat reproduksi yang dimiliki oleh remaja, yaitu laki-laki dan perempuan usia 10–24 tahun (BKKBN-UNICEF, 2004).
Isu kesehatan reproduksi remaja merupakan isu yang mendesak untuk pembangunan kesehatan masyarakat, bukan hanya sekedar isu moral semata (Endang, 2008).
Ada beberapa faktor yang mendasari mengapa program KRR menjadi isu penting (Endang, 2008).
Pertama, pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi masih sangat rendah. Hanya 17,1 persen perempuan dan 10,4 persen laki-laki mengetahui secara benar tentang masa subur dan risiko kehamilan; remaja perempuan dan laki-laki usia 15–24 tahun yang mengetahui kemungkinan hamil dengan hanya sekali berhubungan seks masingmasing berjumlah 55,2 persen perempuan dan 52 persen laki-laki.
Kedua, akses pada informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi sangat terbatas, baik dari orangtua, sekolah, maupun media massa. Budaya ‘tabu’ dalam pembahasan seksualitas menjadi suatu kendala kuat dalam hal ini. Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber informasi penting, baru berjumlah 682 (laporan akhir 2004) yang kemudian meningkat menjadi 2773 buah (Juli 2007). Masih belum memadainya jumlah PIK-KRR dan minat remaja mengetahui KRR secara benar menyebabkan akses informasi ini rendah.
Ketiga, informasi menyesatkan yang memicu kehidupan seksualitas remaja yang semakin meningkat dari berbagai media, yang apabila tidak dibarengi oleh tingginya pengetahuan yang tepat dapat memicu perilaku seksual bebas yang tidak bertanggungjawab.
Keempat, kesehatan reproduksi berdampak panjang. Keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi mempunyai konsekuensi atau akibat jangka panjang dalam perkembangan dan kehidupan sosial remaja. Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) berdampak pada kesinambungan pendidikan, khususnya remaja putri. Remaja tertular HIV karena hubungan seksual tidak aman mengakhiri masa depan yang sehat dan berkualitas.
Kelima, status KRR yang rendah akan merusak masa depan remaja, seperti pernikahan, kehamilan serta seksual aktif sebelum menikah, juga terinfeksi HIV dan penyalahgunaan narkoba.
a)         Triad Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)
Orangtua dan remaja perlu memahami tentang kesehatan reproduksi, khususnya kesehatan reproduksi remaja yang biasa dikenal dengan sebutan ‘Triad KRR’, yaitu 3 (tiga) hal pokok yang mempunyai kaitan sebab akibat antara satu dengan lainnya.
Triad KRR tersebut meliputi:
1. Perkembangan seksual dan seksualitas (termasuk pubertas dan KTD).
2. Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV dan AIDS.
3. NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya. Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), NAPZA singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya: alcohol termasuk dalam zat adiktif) (Endang, 2008).
b)        Seksualitas
(a)    Pengertian
Seksualitas adalah segala sesuatu yang menyangkut emosi, kepribadian, dan sikap yang berkaitan dengan perilaku seksual dan orientasi seksual. Kata seksualitas berasal dari kata dasar seks yang memiliki beberapa arti:
1) Jenis kelamin: keadaan biologis manusia yang membedakan perempuan dan laki-laki.
2) Reproduksi seksual: bagian-bagian tubuh tertentu (disebut organ reproduksi) dari laki-laki dan perempuan yang dapat menghasilkan janin dalam kondisi tertentu.
3) Rangsangan atau gairah seksual yang disebabkan perasaan tertarik yang sangat kuat pada seseorang sehingga terasa ada getaran ‘aneh’ yang muncul dalam tubuh.
4) Hubungan seks.
5) Orientasi seksual adalah kecenderungan seseorang mencari pasangan seksualnya berdasarkan jenis kelamin. Ada 3 (tiga) orientasi seksual yang dikenal, yaitu heteroseksual (tertarik pada jenis kelamin yang berbeda), homoseksual (lesbian dan gay), serta biseksual (tertarik kepada laki-laki juga perempuan).
Seseorang dapat dikatakan wajar atau normal bila memiliki orientasi seksual yang heteroseksual, dan dikatakan mempunyai perilaku seksual menyimpang apabila mempunyai 2 (dua) orientasi seksual lainnya, yaitu biseksual atau homoseksual (Modul Remaja dan KRR, 2005:9-10).
Menurut Masters, jhonson dan kolodny (1992} seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas. Diantaranya adalah :
1)      Dimensi biologis
Berdasarkan dimensi ini, seksualitas berhubungan erat dengan bagaimana manusia menjalani fungsi seksual, sesuai dengan identitas jenis kelaminnya dan bagaimana dinamika aspek-aspek psikologis (kognisi,emosi,motivasi, perilaku) terhadap seksualitas, itu sendiri, serta bagaimana dampak psikologis dari keberfungsian seksualitas dalam kehidupan manusia. Misalnya bagaimana seseorang berperilaku sebagai seoranglaki-laki atau perempuan,bagaimana seseorang mendapatkan kepuasan psikolosis dari perilaku yang dihubungkan dengan identitas peran, jenis kelamin, serta bagaimana perilaku seksualnya.
2)      Dimensi Sosial
Dimensi sosial melihat bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antar manusia, bagaiman seseorang beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan tuntutan peran dari lingkungan sosial, serta bagaimana sosialisasi peran dalam kehidupan manusia.
3)      Dimensi kultural moral
Dimensi ini menunjukan bagaimana nilai-nilai budaya dan moral mempunyai penilaian terhadap seksualitas. Misalnya dinegara Timur orang belum ekspresif mengungkapkan seksualitas berbeda dengan negara barat, seksualitas di negara-negara barat umumnya menjadi hak asai manusia. Berbeda dengan moralitas Islam misalnya menganggap bahwa seksualitas sepenuhnya adalah hak Tuhan, sehingga penggunaan dan pemanfaatannya dilandasi pada norma-norma agama yang sudah mengatur kehidupan seksualitas manusia secara lengkap.
(b)   Ruang Lingkup Seksualitas
Teddy Hidayat (1997) memberikan ruang lingkup seksualitas antara lain terdiri dari:
1)      Seksual biologis
Komponen yang mengandung beberapa ciri dasar seks yang terlihat pada individu yang bersangkutan (kromosom, hormon, serta ciri-ciri seks primer dan sekunder). Ciri seks yang primer timbul sejak lahir yaitu alat kelamin luar (genitalia eksterna) dan alat kelamin dalam (genitalia interna). Ciri seks sekunder timbul saat seseorang meningkat dewasa seperti tumbuhnya bulu-bulu badan dan tempat tertentu (ketiak, badan), berkembangnya payudara dan peruban suara pada laki-laki.
2)      Identitas seksual
Adalah konsep diri pada individu yang menyatakan dirinya, keluarga (orang tua) atau figur yang signifikan dalam kehidupan anak. Identitas gender adalah penghayatan perasaan kelaki-lakian dalam bentuk perilaku sebagai laki-laki atau perempuan dalam lingkunagn budayanya. Identitas budaya sebagai interaksi antara faktor fisik dan psikoseksual. Interaksi yang harmonis antara kedua faktor ini akan menunjang perkembangan norma seorang perempuan atau laki-laki.
3)      Perilaku seksual
Yaitu orientasi seksual dari seoran individu yang merupakan dua unsur yang sulit dipisahkan yaitu tingkah laku seksual dan tingkah laku jender. Tingkah laku seksual didasari oleh dorongan seksual untuk mencari kepuasan seksual:yaitu orgasmus. Tingkah laku gender adalah tingkah laku dengan konotasi maskulin atau feminim di luar tingkah laku seksual. Dalam perkembangan seksualitas perilaku seksual mulai mulai muncul sejak kecil dalam bentuk yang berbeda. Perilaku seksual ini makin disadari ketika usia remaja.
(c)    Hak-hak Seksual
Hak-hak seksual adalah termasuk hak asasi perempuan untuk dapat secara bebas dan bertanggung jawab mengontrol dan memutuskan hal-hal yang terkait dengan seksualitasnya termasuk kesehatan reproduksi dan seksual, bebas dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan (FWCW Platform, 1996).
(d)   Pandangan keliru tentang fungsi seksual wanita
Apa arti menjadi seorang wanita atau pria di suatu masyarakat tergantung pada kepercayaan atau pandangan tentang seksualitas pria dan wanita yaitu tentang sikap seksual dan bagaimana perasaan orang tentang tubuhnya sendiri. Beberapa pandangan yang berbahaya bagi seksualitas wanita yang banyak dijumpai di masyarakat akan dijelaskan dibawah ini:
a.       Tubuh wanita adalah memalukan
Orang tua berbeda sikap bila anak perempuan atau anak laki-laki menyentuh tubuh mereka sendiri. Tubuh wanita itu tidak memalukan, tubuhnya perlu untuk dikenal, disayang dan dihargai.
b.      Tubuh wanita milik pria
Beberapa gadis dinikahkan sejak kecil untuk memastikan mereka tetap suci. Ini bisa menyebabkan masalah kesehatan yang berat bagi gadis tersebut dan bayi-bayinya.

c.       Wanita hanya mempunyai sedikit gairah seksual
Seorang wanita sering diajari bahwa itu merupakan tugas bagi istri untuk melayani kebutuhan seksual suami. Tetapi bila dia seorang ”wanita yang baik-baik” maka dia hanya akan melayaninya, tidak menginginkannya. Keinginan seksual adalah merupakan bagian alami dari setiap manusia termasuk seorang wanita bisa merasakan keinginan dan kenikmatan seksual seperti yang diinginkan oleh pria.
(e)    Pubertas
Masa pubertas (puber) ditandai dengan kematangan organ-organ reproduksi, baik primer (produksi sperma atau sel telur) maupun organ reproduksi sekunder (kumis, rambut kemaluan, payudara).
Awal masa puber berkisar antara usia 11–12 tahun (perempuan) dan 13–14 tahun (laki-laki) dan berakhir sekitar usia 17–18 tahun. Batasan umur ini tidak mutlak karena kondisi setiap individu tidak sama, yang antara lain dipengaruhi oleh gizi dan lingkungan keluarga. (Endang, 2008).
Masa pubertas dicirikan dengan terjadinya perubahan kerja hormon serta terjadinya hormon yang dominan pada setiap jenis kelamin, estrogen (pada perempuan) dan testosterone (pada laki-laki).
Selain perubahan kerja hormon, pada masa puber juga terjadi perubahan fisik dan psikologis. Perubahan fisik pada perempuan dipengaruhi oleh hormone estrogen dan progesteron yang mulai berperan aktif. Perubahan fisik dimaksud seperti tumbuh payudara, panggul mulai melebar dan membesar, serta akan mengalami menstruasi atau haid (Endang, 2008).
Di samping itu akan mulai tumbuh bulu-bulu halus di sekitar ketiak dan vagina. Sedangkan pada laki-laki, hormone testosteron akan membantu tumbuhnya bulu-bulu halus di sekitar ketiak, kemaluan, wajah (janggut dan kumis), terjadi perubahan suara pada remaja laki-laki, tumbuhnya jerawat dan mulai diproduksinya sperma yang pada waktu-waktu tertentu akan keluar sebagai mimpi basah (Endang, 2008).
Sementara itu, perubahan psikologis terjadi disebabkan oleh adanya perubahanperubahan kebutuhan, konflik nilai antara keluarga dengan dunia luar serta terjadinya perubahan fisik. Perubahan psikologis dimaksud seperti remaja menjadi sangat sensitif, sering bersikap irasional, mudah tersinggung, bahkan stres. Remaja yang sedang puber memiliki ciri-ciri tingkah laku sebagai berikut (Endang, 2008).
Pertama, mulai meninggalkan ketergantungan kepada keluarga dan ketenangan masa kecil.
Kedua, butuh diterima oleh kelompoknya. Ketiga, mulai banyak menghabiskan waktunya dengan teman-teman sebaya. Keempat, mulai mempelajari sikap serta pandangan yang berbeda antara keluarganya dengan dunia luar (tentang moral, seksualitas, dll).
Kelima, mulai menghadapi konflik dan harus memutuskan apa saja norma yang harus diambil dari luar, serta berapa ganyak ajaran orangtuanya yang harus dia tolak.
Keenam, mulai muncul kebutuhan akan perilaku.
Ketujuh, mulai butuh keintiman dan ekspresi erotik.
Kedelapan, memperhatikan penampilan.
Kesembilan, tertarik pada lawan jenis. Kesepuluh, ingin menjalin hubungan yang lebih dekat pada lawan jenisnya.
(f)    Mimpi Basah
Pada masa pubertas laki-laki mulai mengalami mimpi basah, yaitu keluarnya sperma ketika mimpi tentang seks yang terjadi secara periodik berkisar setiap 2–3 minggu. Mimpi basah sebenarnya merupakan salah satu cara tubuh laki-laki berejakulasi. Hal ini merupakan pengalaman normal bagi semua remaja laki-laki (Endang, 2008).
(g)   Menstruasi
Pada masa pubertas perempuan mengalami menstruasi (haid). Menstruasi akan berakhir saat perempuan berusia sekitar 45–50 tahun (disebut menopause), di Indonesia menopause terjadi rata-rata di atas usia 50 tahun. Ovarium bayi perempuan yang baru lahir mengandung ratusan ribu sel telur tetapi belum berfungsi. Ketika pubertas, ovarium sudah mulai berfungsi dan terjadi proses yang disebut siklus menstruasi (jarak antara hari pertama menstruasi bulan ini dengan hari pertama menstruasi bulan berikutnya). Dalam satu siklus, dinding rahim menebal sebagai persiapan jika terjadi kehamilan.
Sel telur yang matang akan berpotensi untuk dibuahi oleh sperma hanya dalam 24 jam. Apabila ternyata tidak terjadi pembuahan maka sel telur akan mati dan terjadilah perubahan pada komposisi kadar hormone yang akhirnya membuat dinding rahim akan luruh disertai pendarahan, yang disebut dengan menstruasi.
Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada remaja, terutama yang telah mengalami haid, menyebabkan sering terjadi kehamilan tidak diinginkan (Endang, 2008).
c)         Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV dan AIDS
Kasus IMS dan HIV dan AIDS cukup banyak terjadi di kalangan remaja. IMS seringkali disebut pula sebagai penyakit menular seksual (PMS), adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual yang lebih berisiko bila hubungan seksual dilakukan dengan berganti-ganti pasangan, baik melalui vagina, oral, maupun anal (Endang, 2008).
Bagi remaja, IMS harus dihindari melalui upaya:
a. tidak melakukan hubungan seksual pranikah;
b. selalu menjaga kebersihan alat kelamin;
c. segera periksa ke tenaga kesehatan bila terjadi keluhan.
HIV dan AIDS merupakan singkatan dari Human Immuno-deficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome. AIDS adalah salah satu jenis infeksi yang merupakan kumpulan gejala akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi virus HIV. AIDS termasuk IMS karena salah satu cara penularannya melalui hubungan seksual dengan orang yang telah terinfeksi virus HIV (Endang, 2008).
Selain itu, infeksi ini dapat ditularkan melalui:
a. pemakaian jarum suntik, jarum tato, dan tindik bekas orang yang terinfeksi HIV (tidak steril);
b. menerima transfusi darah yang tercemar HIV;
c. ibu hamil yang terinfeksi virus HIV kepada janin dalam kandungannya.
Cara remaja untuk menghindarkan diri dari HIV dan AIDS adalah:
a. menghindari hubungan seksual di luar nikah;
b. menghindari perilaku tidak sehat dan tak bertanggungjawab dengan tidak menggunakan narkoba dan minuman keras;
c. menggunakan alat-alat medis dan nonmedis yang terjamin steril;
d. menghindari transfusi darah yang tidak jelas asalnya (Endang, 2008).
d)        NAPZA
Narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) adalah jenis obat yang mempunyai efek tertentu sehingga berbahaya jika dikonsumsi secara sembarangan; oleh karena itu penggunaannya harus diawasi oleh dokter (Endang, 2008).
Tanda-tanda pengguna NAPZA adalah:
1) perubahan perilaku seperti jadi pemurung, mudah tersinggung dan marah tanpa alasan jelas;
2) sering menguap dan mengantuk, malas, melamun, dan tidak mempedulikan keberhasilan dan penampilan diri;
3) menjadi tidak disiplin, atau sering kabur, baik dari rumah maupun sekolah;
4) prestasi menurun, sering menyendiri di tempat sepi;
5) memilih teman bergaul yang berperilaku sama dengan dirinya;
6) mencuri milik orangtua, saudara untuk membeli minuman atau obat-obatan terlarang;
7) sering cemas, mudah stres atau gelisah dan susah tidur;
8) pelupa seperti pikun;
9) mata merah seperti mengantuk terus (Endang, 2008).
Penyalahgunaan NAPZA adalah pemakaian NAPZA yang bukan untuk pengobatan atau penelitian. Menyalahgunakan NAPZA dapat berakibat buruk pada kesehatan reproduksi, antara lain:
1) jarum suntik yang digunakan secara bergantian dalam penyalahgunaan NAPZA akan mengakibatkan penularan HIV dan AIDS;
2) penyalahgunaan NAPZA sering mengakibatkan penggunanya cenderung berperilaku ‘seenaknya’ dan tidak sehat, yang dapat memicu penyimpangan seksual (seks bebas) dan penularan infeksi menular seksual (IMS);
3) kecanduan obat terlarang dapat menyebabkan bayi lahir dengan ketergantungan obat yang memerlukan perawatan intensif;
4) penyalahguna NAPZA mempunyai kecenderungan kekurangan gizi akibat tidak memperhatikan kesehatannya terutama pada perempuan, yang dapat berdampak kepada bayi dengan berat badan rendah, cacat atau keguguran;
5) penyalahguna NAPZA dapat mengalami impotensi atau justru keinginan seksual yang berlebihan maupun perilaku seksual menyimpang sehingga mengganggu keharmonisan keluarga (Endang, 2008).
e)         Kondisi saat ini
Berkaitan dengan kesehatan reproduksi, pengetahuan dan perilaku remaja masih cukup memprihatinkan yang dapat dilihat dari data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia tahun 2007 (SKRRI 2007) sebagai berikut.
1. Remaja usia 15–24 tahun yang mengetahui masa subur dengan benar sebesar 17,1 persen remaja putri dan 10,4 persen remaja laki-laki.
2. Remaja usia 15–24 tahun yang mengetahui bahwa ada kemungkinan hamil dengan hanya sekali berhubungan seks sebesar 55,2 persen remaja putri dan 52 persen remaja laki-laki.
3. Remaja usia 15–24 tahun yang setuju melakukan hubungan seks pranikah adalah 1 persen remaja putri dan 5 persen remaja laki-laki.
4. Remaja usia 15–24 tahun yang pernah melakukan hubungan seks adalah 1 persen remaja putri dan 5 persen remaja laki-laki.
5. Angka kehamilan tidak diinginkan (KTD) di kalangan remaja cukup tinggi sebesar 6 persen.
6. 84 persen remaja putri dan 77 persen remaja lakilaki pernah mendengar HIV dan AIDS, tetapi HIV dan AIDS lebih dikenal oleh remaja usia 20–24 tahun yang tinggal di perkotaan dan berpendidikan
tinggi.
7. Pengetahuan bahwa virus HIV dapat ditularkan ibu ke bayi selama kehamilan, melahirkan dan menyusui, adalah 49–60 persen remaja putri dan 43–51 persen remaja laki-laki.
8. Angka HIV dan AIDS di kalangan remaja usia 15–24 tahun terus meningkat, di seluruh dunia lebih dari 10 juta remaja sudah tertular HIV dan setiap tahun hampir 50 persen orang terinfeksi HIV terjadi di kalangan remaja usia 15–24 tahun (BKKBN, 2005).
9. Pengguna obat-obatan terlarang: kurang dari 1 persen remaja putri, 6 persen remaja laki-laki.
10. Pernah dengar tentang infeksi menular seksual adalah 29,4 persen remaja putri dan 37,1 persen remaja laki-laki.
11.Remaja perempuan perokok sejumlah 0,8 persen, remaja laki-laki perokok 56,9 persen.
12.Pengetahuan tentang tempat memperoleh informasi KRR di kalangan remaja sangat rendah, yaitu 10,6 persen remaja putri dan 5,8 persen remaja laki-laki (Endang, 2008).
f)         Kesenjangan Gender dalam KRR
Dari data tentang pengetahuan dan perilaku remaja dalam kesehatan reproduksi, kita mencoba melihat adanya kesenjangan gender terutama pada pernikahan dan kehamilan usia remaja (Endang, 2008).
1. Perkawinan pada masa remaja
Dari data SDKI 2007 diketahui bahwa sekitar 2,6 persen wanita pernah kawin melakukan perkawinan pertamanya pada kelompok umur 15–19 tahun. Perkawinan ini dapat terjadi oleh beberapa pertimbangan seperti:
a. pengetahuan yang rendah tentang waktu yang tepat untuk menikah;
b. ‘terpaksa’ karena sudah hamil pranikah atau untuk menutup aib karena sudah melakukan hubungan seksual pranikah. Pandangan masyarakat terhadap hubungan seks pranikah sangat bias gender, karena meskipun tindakan ini dilarang oleh agama dan norma masyarakat, hukuman, dan ‘kutukan’ lebih berat ditimpakan kepada
perempuan daripada kepada laki-laki. Perempuan tidak mempunyai hak untuk protes terhadap ‘keperawanan’ calon suami sementara pihak laki-laki selalu menuntut hal ini pada perempuan (Mohamad,1998). Dengan perkawinan ini remaja putri lebih merasakan dampaknya, yaitu:
a.       tidak dapat melanjutkan pendidikan lagi karena peraturan sekolah yang tidak mengijinkan siswi yang telah menikah untuk bersekolah;
b.      secara mental remaja yang masih sangat muda dapat dikatakan belum siap sepenuhnya menghadapi kehidupan rumah tangga yang sangat berbeda dengan kehidupan remajanya;
c.       dilihat dari sisi kesehatan reproduksi, perkawinan yang secara langsung akan diikuti oleh kehamilan yang bisa berisiko pada keguguran atau pendarahan (Endang, 2008).
Kesenjangan gender ini dapat terjadi karena:
a.       peranan orangtua yang dominan dalam menentukan perkawinan anak gadisnya yang dianggap ‘miliknya’ sepenuhnya bukan sebagai suatu pribadi utuh;
b.      faktor sosial budaya yang beranggapan ‘perawan tua’ atau ‘tidak laku’ bila perempuan tidak segera menikah pada usia belasan tahun, bahkan sebelum mengalami haid sekalipun;
c.       Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang membolehkan pernikahan perempuan usia 16 tahun dan laki-laki 19 tahun;
d.      sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa perempuan mempunyai tempat di dapur dan rumahtangga sehingga sebaiknya segera menikah dan mempunyai anak, tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi (Endang, 2008).
2. Kehamilan pada masa remaja
Kehamilan pada masa remaja berdampak pada tidak adanya peluang perempuan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Selain itu dapat pula berdampak pada terjadinya keguguran, risiko komplikasi persalinan, bahkan kematian maternal. Risiko ini tentu saja tidak dialami oleh remaja laki-laki (Endang, 2008).
Kesenjangan gender yang menimpa remaja putri ini terjadi karena:
a. perempuan seringkali tidak mempunyai kekuatan sebagai pengambil keputusan berkenaan dengan waktu kehamilan dan kesehatan reproduksi dirinya karena keputusan di tangan suami dan keluarga lainnya. Perempuan menjadi pihak yang harus pasrah, ‘nrimo’ semua perlakuan atau keputusan suami dan keluarganya (Hakim, 2001);
b.dampak dari pernikahan usia remaja, orangtua menginginkan menimang cucu segera setelah anak-anaknya menikah, tanpa melihat kesiapan si anak, secara fisik maupun mental;
c. status perempuan di mata masyarakat tergantung pada kemampuannya untuk mempunyai anak. Seorang perempuan dianggap tidak sempurna apabila setelah menikah tidak bisa memiliki anak (Dwiyanto,ed.1996:214), tanpa peduli siap atau tidaknya yang bersangkutan (Endang, 2008).
g)        Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam KRR
Untuk memperkecil terjadinya pernikahan dan kehamilan usia muda/remaja, dapat dilakukan beberapa upaya, baik oleh remaja, orangtua, maupun pemerintah dan LSM. Upaya-upaya tersebut antara lain adalah:
1. remaja ikut dalam berbagai kegiatan positif di sekolah dan tempat tinggalnya, selain untuk menambah wawasan juga bermanfaat untuk mendewasakan usia perkawinannya;
2. akses informasi dan pelayanan KRR yang akurat, luas, dan seimbang bagi remaja laki-laki dan perempuan;
3. tidak adanya pembedaan perlakuan orangtua terhadap remaja putri  dan laki-laki;
4. peluang yang sama dalam pendidikan bagi perempuan dan laki-laki sesuai kemampuan/ potensinya;
5. meningkatkan pengetahuan orangtua dan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja melalui berbagai forum dan sumber informasi seperti Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) (Endang, 2008).
2.3.2.4   Gender dalam Pengendalian Infeksi Menular Seksual
a)      Pengertian
Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah golongan penyakit menular atau penyakit infeksi yang terutama ditularkan melalui kontak/hubungan seksual. Penyakit ini merupakan salah satu saluran transmisi penyakit Hepatitis B dan HIV dan AIDS. Keberadaan IMS di kalangan ibu rumah tangga cukup memprihatinkan yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah. Hal ini memberikan gambaran kepada kita tentang perilaku tidak sehat suami maupun istri sebelum atau di luar nikah (Endang, 2008).
b)      Penyebab dan Cara Penularan IMS
IMS dapat disebab-kan oleh virus, bakteri atau parasit jamur yang hanya dapat dilihat melalui alat pembesar (mikroskop) karena sangat kecil tidak dapat dilihat oleh mata.
IMS terutama ditularkan dengan cara hubungan seksual melalui: penis, vagina, anal (dubur), dan oral (mulut). Cairan mani dan vagina merupakan tempat yang baik untuk berkembangbiaknya bibit penyakit IMS. Sebagai bibit penyakit IMS berada pula dalam darah, maka cara penularannya yang lain melalui jarum suntik atau alat-alat kedokteran yang tercemar virus/bakteri IMS (Endang, 2008).
c)      Risiko tertular IMS
Risiko tertular IMS dapat dialami oleh perempuan dan laki-laki, secara khusus adalah:
a.     setiap orang yang melakukan hubungan seksual dengan orang yang mengidap IMS tanpa menggunakan pelindung/ kondom;
b.    orang yang sering berganti-ganti pasangan seksual;
c.     setiap orang yang mendapat transfuse darah yang tercemar IMS, yaitu darah tanpa penapisan/screening terhadap IMS, contohnya sifilis, HIV;
d.   bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mengidap gonorrhoeae/GO (kencing nanah) (Endang, 2008).
d)     Jenis-jenis IMS :
1.      Gonorrhoeae/GO atau kencing nanah
2.      Sifilis (raja singa)
3.      Herpes genitalis (Dompo/Dampa)
4.      Trikomoniasis/ keputihan Berbau busuk
5.      Ulkus molle (koreng)
6.      Klamidia
7.      Condiloma Accuminata (jengger ayam)
8.      Candidiasis (infeksi jamur)
9.      Kutu pubis (Endang, 2008).
e)      Kesenjangan Gender dalam IMS
Seperti telah disebutkan, Infeksi Menular Seksual dapat dialami oleh laki-laki dan perempuan, akan tetapi bila didalami lebih jauh dalam kasus IMS ini perempuan menjadi pihak yang lebih menderita karena:
1.    istri menjadi pihak yang dipersalahkan sebagai penyebab tertularnya suami akan IMS, padahal sebagian besar kasus IMS ditularkan oleh suami kepada istrinya. Perempuan dianggap tidak dapat menjaga kebersihan diri dan kesehatan reproduksinya.
2.    istri sangat merasakan dampak penularan IMS berupa rasa sakit hebat pada kemaluan, panggul, dan vagina sampai pada komplikasi yang dapat mengakibatkan kemandulan. Kemandulan inilah yang menambah penderitaan mental bagi istri (Endang, 2008).
Dari kenyataan ini terlihat dengan jelas bahwa perempuan, dalam hal ini istri menjadi pihak yang dirugikan dibandingkan suami/laki-laki. Ini berarti dalam kasus IMS ini terjadi kesenjangan gender yang dapat diupayakan untuk diperkecil atau dihilangkan sehingga tidak ada satu pihakpun yang dirugikan, dengan melihat secara lebih jauh faktor penyebabnya (Endang, 2008).
f)       Kesenjangan gender ini disebabkan antara lain oleh:
1.      dominasi suami sebagai pihak yang dianggap lebih tinggi nilainya pada sebagian masyarakat menyebabkan suami tidak mau dipersalahkan meski dia yang menularkan IMS kepada istrinya.
2.      pengetahuan suami dan istri tentang IMS dan perilaku seksual sehat masih terbatas. Data SDKI 1997 menunjukkan hanya sekitar 16,5 persen pria menggunakan kondom ketika berhu-bungan dengan pekerja seks komersial.
3.      masih adanya kecenderungan pada beberapa kelompok masyarakat/budaya yang ‘membolehkan’ laki-laki melakukan semua hal yang diinginkan termasuk perilaku seksual tidak sehat. Hal ini didasari hanya karena rasa superioritas dan sifat agresif suami terhadap istrinya, di samping pengetahuan kesehatan reproduksi suami yang masih rendah (Endang, 2008).
g)      Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Pengendalian IMS
Keseimbangan pengetahuan, pemahaman, pengertian, kesadaran, sampai pengambilan keputusan antara suami dan istri menjadi titik tolak dari upaya pengendalian IMS sekaligus memperkecil kesenjangan dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga (Endang, 2008).
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mewujudkannya, antara lain:
1.      semua orang, laki-laki dan perempuan, meningkatkan pengetahuannya tentang perilaku seksual sehat;
2.      suami dan istri setia kepada pasangannya, tidak berganti-ganti pasangan seksual;
3.      memeriksakan diri ke petugas kesehatan apabila dirasakan ada gangguan kesehatan;
4.      saling mendukung dalam perawatan apabila salah satu pihak terjangkit serta memperhatikan cara pencegahan penularannya dengan benar;
5.      tidak saling menyalahkan dan curiga melainkan justru bersama berusaha mencari pengobatan yang tepat serta saling memberikan dukungan nyata (Endang, 2008).
Pencegahan IMS melalui ketahanan keluarga seringkali diingatkan dengan pesan kunci A, B, C, D, E, yaitu:
a.       Abstinence: tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah.
b.      Be Faithfull : saling setia pada pasangan yang sah.
c.       Condom: gunakan condom apabila salah satu dari pasangan terkena IMS atau HIV dan AIDS.
d.      Drugs: hindari narkoba suntik.
e.       Equipment: mintalah peralatan kesehatan yang steril (Endang, 2008).
Semua gejala tersebut tidak selalu disebabkan oleh IMS, langkah bijaksana adalah konsultasi dengan dokter untuk kepastian dan penanganan sedini mungkin. Orang yang mengidap IMS tidak selalu mempunyai gejala sehingga tidak dapat melihat/mengetahui seseorang mengidap IMS hanya dengan melihat tampak luarnya/ penampilan saja (Endang, 2008).
2.3.2.5  Gender dalam Pengendalian HIV dan AIDS
a)      Pengertian
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu sejenis virus (yakni Rotavirus) yang dapat menurunkan sampai merusak system kekebalan tubuh (Endang, 2008).
Ketika seseorang sudah tidak lagi memiliki system kekebalan tubuh maka semua penyakit dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuhnya (Endang, 2008).
AIDS merupakan singkatan dari Aquired Immuno Deficiency Syndrome:
a)      Acquired berarti didapat dengan pengertian bukan diturunkan atau penyakit turunan.
b)      Immuno adalah kekebalan tubuh untuk mengantisipasi adanya serangan mikro organisme dari luar.
c)      Deficiency berar ti kurang atau penurunan dari keadaan yang normal.
d)      Syndome adalah serangkaian gejala.
Jadi, AIDS adalah kumpulan gejala penyakit yang didapat akibat menurunnya fungsi kekebalan tubuh akibat HIV. Kasus AIDS pertama kali dilaporkan di Los Angeles oleh Gottleib dan kawan-kawan pada tanggal 5 Juni 1981, walaupun sebenarnya telah ditemukan di rumah sakit di negara Afrika Sub-Sahara pada akhir tahun 1970-an. Kasus AIDS di Indonesia ditemukan pertama kali di Bali tahun 1987 yang baru dilaporkan oleh Jaringan Epidemiologi Nasional tahun 1993. HIV ditemukan oleh Dr. Luc Montaigner dan kawan-kawan di Perancis yang berhasil mengisolasi virus penyebab AIDS (Endang, 2008).
b)      Proses Penularan dan Penyebaran HIV dan AIDS
1.      hubungan seksual, baik melalui vagina (alat kelamin perempuan), penis (alat kelamin laki-laki), anus, maupun mulut dengan pasangan yang mengidap/terinfeksi HIV;
2.      transfusi darah yang mengandung virus HIV tanpa dilakukan skrining terlebih dahulu;
3.      jarum suntik, alat tusuk lain (tusuk jarum, tindik, tattoo), pisau cukur, sikat gigi yang telah terkena darah pengidap HIV dan AIDS;
4.      ibu hamil yang mengidap virus HIV kepada janinnya yang dikandung atau selama proses persalinan normal dan melalui ASI yang diberikan kepada anaknya (Endang, 2008).
c)      HIV dan AIDS tidak dapat ditularkan melalui:
1.      hubungan kontak sosial biasa dari satu orang ke orang lain di rumah, di tempat kerja atau tempat umum lainnya;
2.      bersalaman, menyentuh, berpelukan atau cium pipi;
3.      udara dan air (kolam renang, toilet);
4.      gigitan nyamuk atau serangga lain;
5.      terpapar batuk atau bersin;
6.      berbagi makanan atau menggunakan alat makan bersama (Endang, 2008).
d)     Cara Pencegahan HIV/AIDS
Sama halnya dengan cara pencegahan IMS, cara yang paling ampuh adalah dengan “ABCDE”:
1.      Abstinence: tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah.
2.      Be Faithfull: saling setia pada pasangan yang sah.
3.      Condom: gunakan condom apabila salah satu dari pasangan terkena IMS atau HIV dan AIDS.
4.      Drugs: hindari narkoba suntik.
5.      Equipment: mintalah peralatan kesehatan yang steril (Endang, 2008).
e)      Pengobatan HIV dan AIDS
Sampai saat ini obat yang digunakan berfungsi untuk menahan perkembangbiakan virus, bukan menghilangkan HIV dari tubuh. Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus ini ada 2 jenis obat yaitu:
1.      Anti-retroviral (ARV) adalah obat yang digunakan untuk menghambat perkembangbiakan virus. Obat yang termasuk anti retroviral, yaitu AZT, Didanoisne, Zaecitabine, Stavudine.
2.      Obat infeksi opor tunistik yaitu obat yang digunakan untuk mengobati penyakit yang muncul sebagai efek samping rusaknya system kekebalan tubuh, misal obat anti-TBC (Endang, 2008).
f)       Kesenjangan Gender dalam Kasus HIV dan AIDS
Dalam kasus HIV dan AIDS terdapat beberapa kesenjangan khususnya dalam hal akses informasi di antara perempuan dan laki-laki yang dapat dilihat dari data berikut. Dari laporan pendahuluan SDKI 2007 diketahui bahwa:
8.      perempuan kawin yang pernah mendengar tentang AIDS sebesar 61 persen sedangkan lakilaki 71,4 persen.
9.      perempuan pernah kawin yang mengetahui cara mengurangi risiko tertular virus AIDS dengan kondom dan membatasi berhubungan seks hanya dengan pasangan yang tidak terinfeksi 29,9 persen, sedangkan laki-laki 41,3 persen.
10.  perempuan pernah kawin yang mengetahui cara mengurangi risiko terkena virus AIDS dengan tidak berhubungan seks 36,6 persen, laki-laki 42,9 persen. Selain dari sisi akses informasi, kesenjangan gender juga nampak pada dipersalahkannya perempuan sebagai penular HIV bagi suami atau bayi yang dilahirkan, bukan sebaliknya suami kepada istrinya (Dwiyanto: 213).
Dilihat lebih jauh dalam pengendalian HIV dan AIDS tidak membedakan sasarannya, laki-laki atau perempuan saja karena laki-laki dan perempuan dapat tertular virus. Demikian pula dampak penularannya akan sama dirasakan oleh perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, perempuan dan laki-laki seyogyanya bekerjasama dan terus meningkatkan pemahamannya tentang upaya pengendalian HIV dan AIDS ini (Endang, 2008).
g)      Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Pengendalian HIV dan AIDS.
Dalam pengendalian HIV dan AIDS perlu dilakukan berbagai upaya oleh suami dan istri yang mencerminkan suatu bentuk kesetaraan dan keadilan gender dalam keluarga, antara lain:
1.      Suami dan istri saling setia dan berhubungan seksual hanya dengan suami atau istrinya.
2.      Suami dan istri saling mendukung untuk memperoleh informasi yang benar tentang HIV dan AIDS.
3.      Suami dan istri saling memberikan dukungan apabila salah satu pihak tertular HIV dan AIDS antara lain dalam menjalani pengobatan, melakukan hubungan seksual dan kehidupan sehari-hari (Endang, 2008).
2.3.2.6  Gender dalam Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi yang meliputi kesehatan fisik, mental dan sosial secara utuh berhubungan dengan sistem fungsi dan proses reproduksi seharusnya dimiliki oleh setiap individu mulai janin sampai dengan lanjut usia. Untuk itu setiap individu dengan difasilitasi oleh pemerintah, swasta dan pihak lainnya harus terus mengupayakan kesehatan reproduksinya agar kualitas hidupnya tetap terjaga sampai akhir hayat (Endang, 2008).
Dalam kesehatan reproduksi ada beberapa permasalahan yang mungkin saja dialami oleh individu maupun pasangan, yaitu:
1.      kanker alat reproduksi, yaitu kanker yang menyerang alat reproduksi baik pada perempuan maupun laki-laki, seperti kanker leher rahim, kanker indung telur, endometrium, trofoblas ganas, kanker prostat dan kanker payudara.
2.      infertilitas, yaitu ketidak mampuan pasangan suami istri untuk mendapatkan keturunan setelah menikah selama dua tahun atau untuk memperoleh anak berikutnya.
3.      gangguan kesehatan seksual yang berdampak kepada kurang harmonisnya hubungan suami istri, baik dari pihak suami maupun istri, antara lain frigiditas, disfungsi orgasme dan vaginismus serta impotensi, ejakulasi dini dan ejakulasi terhambat.
4.      Infeksi Saluran Reproduksi yang dapat terjadi pada perempuan dan laki-laki terdiri dari infeksi yang disebabkan oleh organisme normal, infeksi yang disebabkan oleh prosedur kesehatan serta infeksi menular seksual (IMS) (Endang, 2008).
a)      Gangguan Kesehatan Seksual dan Upaya Pengendaliaannya
Kesehatan seksual adalah kondisi kehidupan seks yang aman dan memuaskan yang harus dimiliki oleh setiap orang dalam hubungan harmonis, setara, bertanggungjawab dan saling menghargai antara perempuan dan laki-laki (Endang, 2008).
Kesehatan seksual yang lebih dikaitkan kepada hubungan seksual suami-istri dapat menjadi perekat terjadinya cinta kasih dan keharmonisan suatu keluarga, selain untuk memperoleh keturunan dan kepuasan lahir bathin. Kesehatan seksual yang dimiliki oleh setiap individu, terutama pasangan, ada kalanya menghadapi permasalahan atau gangguan yang disebabkan oleh adanya gangguan fisik (seperti kelelahan atau sakit) dan mental/psikis (beban pikiran), pada perempuan maupun laki-laki (Endang, 2008).
2.      Jenis Gangguan Kesehatan Seksual pada Perempuan
(a)    Frigiditas, yaitu tidak adanya gairah terhadap rangsangan seksual sehingga tidak pernah merasakan kenikmatan saat berhubungan seksual. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh faktor psikologis seperti pengetahuan yang salah tentang seks, rasa takut hamil atau tidak adanya rasa cinta kepada suami.
(b)   Disfungsi orgasme, adalah gangguan dalam mencapai orgasme sehingga istri tidak dapat mencapai puncak kenikmatan pada saat melakukan hubungan seksual. Ada dua jenis disfungsi orgasme, yaitu:
1)      disfungsi orgasme primer: selama perkawinan tidak pernah mendapatkan puncak kenikmatan pada setiap melakukan hubungan seksual;
2)      disfungsi orgasme sekunder: pernah mencapai orgasme, namun selanjutnya tidak lagi merasakan orgasme lagi. Faktor penyebab terjadinya disfungsi orgasme adalah:
faktor psikologis antara lain trauma, budaya dan kebosanan;
faktor fisik berupa gangguan peredaran darah, hormonal atau gangguan syaraf.
(c)    Vaginismus, adalah kekejangan otot-otot bagian luar vagina sehingga penis tidak dapat melakukan penetrasi (masuk ke liang sanggama). Bila dalam keadaan ini dipaksakan melakukan hubungan seksual, akan timbul rasa nyeri/sakit pada vagina dan penis. Penyebab terjadinya gangguan vaginismus adalah:
faktor psikologis antara lain anggapan seks merupakan hal yang tabu atau pengalaman tidak menyenangkan/ trauma di masa lalu;
faktor fisik seperti herpes genitalis (ada pada uraian tentang IMS), infeksi atau luka pada vagina (Endang, 2008).
3.      Jenis Gangguan Kesehatan Seksual pada Laki-laki
(a)    Impotensi, yaitu ketidakmampuan berereksi dan mempertahankannya secara sempurna sehingga tidak dapat melakukan penetrasi dan berejakulasi dengan baik.
Ada dua jenis impotensi yaitu:
1)      impotensi primer: seorang suami sejak pertama kali melakukan hubungan seksual belum pernah mampu berereksi, penetrasi dan berejakulasi.
2)      impotensi: seorang suami pernah mampu berereksi, berpenetrasi dan berejakulasi secara cukup namun selanjutnya tidak pernah mampu lagi.
(b)   Ejakulasi Dini, adalah keadaan keluarnya air mani lebih cepat sebelum masuknya penis ke liang sanggama.
(c)    Ejakulasi Terhambat, merupakan kebalikan dari ejakulasi dini, yaitu air mani tidak keluar pada saat melakukan hubungan seksual (Endang, 2008).
b)      Infertilitas dan Upaya Pengendaliaannya
Infertilitas adalah suatu keadaan dimana pasangan suami-istri belum memiliki keturunan karena adanya masalah kesehatan reproduksi, baik pada suami, istri atau keduanya. Dalam masyarakat luas, infertilitas sering disebut dengan istilah ketidak suburan bahkan mandul (Endang, 2008).
1.      Jenis-jenis Infertil
Ada dua jenis infertilitas yaitu:
a.    infertilitas primer, adalah suatu keadaan dimana setelah dua tahun pasangan usia subur menikah dan telah melakukan hubungan seksual secara teratur belum juga hamil dan mendapatkan keturunan, padahal tanpa usaha pencegahan kehamilan.
b.    infertilitas sekunder, adalah suatu keadaan dimana pasangan suami-istri yang telah mempunyai anak, sulit memperoleh anak berikutnya, meski telah melakukan hubungan seksual secara teratur dan benar tanpa upaya pencegahan kehamilan.
2.      Faktor Penyebab Terjadinya Infertilitas
Menurut penelitian, penyebab infertilitas adalah 40 persen faktor suami, 40 persen faktor istri, dan 20 persen faktor dari keduanya.
(a) Faktor suami
(1) Gangguan kesehatan seksual seperti impotensi, disfungsi ereksi, ejakulasi dini dan terhambat, sumbatan pada saluran sperma yang diakibatkan oleh tumor dan infeksi serta kelainan gerak sperma yang disebabkan oleh infeksikelenjar prostat menahun, air mani encer atau terlalu kental sert akerusakan ekor sperma.
(2)  Kelainan lubang penis yang terletak di pangkal penis atau di bagian bawah bukan di ujung penis.
(3) Kelainan produksi atau pematangan sperma, yang disebabkan oleh kerusakan testis karena gondongan (parotitis) pada masa anak dan remaja, faktor lingkungan,obat-obatan dan ketegangan  emosi/stres.
(4) Kondisi gizi yang kurang baik atau menderita penyakit tertentu (Endang, 2008).
(b) Faktor istri
(1)Kelainan lendir leher rahim:
a) terlampau pekat yang dapat menghambat gerak sperma ke dalam rongga rahim
b) terlampau asam yang dapat mematikan sperma.
(2) Kelainan bentuk rahim, disebabkan antara lain oleh cacat bawaan, tumor pada mulut atau di dalam rahim, polip dalam rongga rahim.
(3) Faktor ovarium (indung telur)
a) Anovulasi (gangguan pematangan sel telur pada ovarium atau banyak benjolan pada indung telur).
b) Gangguan menstruasi (haid sedikit, tidak haid atau haid tidak teratur/ lebih satu kali masa haid).
(4) Faktor Tuba Fallopi (saluran indung telur)
(5) Faktor serviks/leher rahim (Endang, 2008).
(c) Faktor Keduanya
Infertilitas atau kekurang suburan yang terjadi pada pasangan suami-istri juga dapat disebabkan oleh kedua belah pihak, seperti:
1) reaksi imunologik (kekebalan), yaitu adanya zat anti terhadap sperma pada suami maupun istri yang berakibat pada penggumpalan dan gangguan pergerakan sperma;
2)  kurang pengetahuan tentang cara melakukan sanggama yang benar atau pengetahuan tentang masa subur (Endang, 2008).
Peningkatan pengetahuan suami-istri dan keluarga tentang kesehatan reproduksi termasuk infertilitas dapat menghilangkan anggapan salah ini sekaligus menghilangkan kesenjangan gender yang terjadi di masyarakat.
c)      Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Reproduksi
Dalam menghadapi gangguan atau permasalahan kesehatan reproduksi setiap pasangan suami-istri harus saling memberikan dukungan dan pengertian termasuk dari keluarga besarnya, bukan justru saling menyalahkan (Endang, 2008).
Upaya yang dapat dilakukan antara lain adalah:
1.      mencari informasi yang tepat, akurat, dan jelas pada tempat dan tenaga pelayanan kesehatan yang ada;
2.      membahas bersama informasi yang diperoleh untuk menentukan langkah yang akan diambil selanjutnya;
3.      menyepakati bersama penyediaan dana untuk pemeriksaan atau pengobatan sehingga dampak permasalahan reproduksi dapat diperkecil dan dapat segera diatasi;
4.      saling mendukung dan memberikan perhatian penuh kepada pasangan bila salah satu pihak mengalami permasalahan kesehatan reproduksi;
5.      menghadapi masalah kesehatan reproduksi secara bersama dengan ikhlas sambil terus mencari upaya untuk mengatasinya (Endang, 2008).
Kesetaraan dan keadilan gender ini dapat terwujud apabila suami-istri sama-sama mempunyai:
1.      akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi;
2.      posisi setara dan seimbang dalam mengambil keputusan tentang rencana dan tindak lanjut penanggulangan masalah kesehatan reproduksi (Endang, 2008).
Upaya suami-istri ini akan dapat berhasil baik apabila diiringi oleh penyediaan pelayanan oleh berbagai pihak berupa:
1.      pelayanan informasi yang jelas, tepat, dan dapat dijangkau oleh semua keluarga, baik lokasi, waktu, maupun media atau materinya;
2.      pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan dan laki-laki secara seimbang, tidak hanya salah satu pihak saja;
3.      tenaga pelayanan terlatih yang juga mampu melayani perempuan dan laki-laki (sering disebut dengan peka gender) (Endang, 2008).
2.3.2.7  Gender dalam Pemeliharaan Kesehatan Pasca Reproduksi
Kesehatan reproduksi meliputi kesehatan fisik dan mental setiap individu sepanjang siklus kehidupannya sehingga pemeliharaan kesehatan pascareproduksi (sering juga disebut dengan kesehatan lansia) juga perlu mendapat perhatian kita bersama. Masa pascareproduksi ini ditandai dengan terjadinya penurunan berbagai fungsi alat/organ tubuh (Endang, 2008).
a)      Permasalahan Kesehatan Pasca Reroduksi mencakup :
1.    Osteoporosis
Osteoporosis merupakan penyakit pada tulang yang ditandai dengan berkurangnyamassa tulang akibat proses penuaan, yang dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Osteoporosis dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan. Pada perempuan proses ini lebih cepat karena menurunnya hormon estrogen, khususnya setelah masa menopause.
2.    Gangguan Fungsi Reproduksi
Gangguan fungsi reproduksi pada perempuan setelah menopause akibat menurunnya hormon estrogen, mengakibatkan liang kemaluan menjadi kering dan sakit bila bersenggama (dispareuni). Gangguan reproduksi pada laki- laki disebabkan menurunnya sekresi hormone androgen/testosteron, dengan gejala menurunnya gairah seksual, menurunnya daya sensitivitas terhadap rangsangan, penurunan daya orgasme serta disfungsi ereksi (impoten) dan pembesaran kelenjar prostat.
3.    Andropause
Andropause merupakan menurunnya kemampuan fisik, seksual dan psikologis pada laki-laki. Hal ini disebabkan oleh menurunnya produksi hormon testosteron. Keadaan ini biasanya terjadi pada pria berusia 56 - 60 tahun atau lebih.
Gejala:
1) potensi seksual mulai menurun
2) kurang bergairah
3) mudah tersinggung
4) terganggunya daya konsentrasi
5) mudah letih, lesu dan lemah kakupada otot, sendi dan tulang
6) rambut rontok
7) kulit kering
8) penis mengecil, bisa terjadi impoten dan masalah sirkulasi darah (Endang, 2008).
Dampak pada keluarga:
Suami yang mengalami andropause mudah tersinggung, marah-marah karena kecewa dan tidak puas dengan situasi dirinya. Sikap ini sangat tidak menyenangkan bagi istri dan anak-anaknya, bahkan dapat menghilangkan respek keluarga. Dampak paling buruk adalah suami terobsesi oleh fantasi seksual yang melibatkan pasangan yang lebih muda. Keluarga, terutama istri merasa dikhianati dan ini menjurus kepada hilangnya kebahagiaan dalam keluarga dan dapat mengakibatkan keluarga mengalami stress (Endang, 2008).
4.    Menopause
Menopause merupakan keadaan biologis dimana fungsi reproduksi perempuan berakhir, yang ditandai dengan berhentinya siklus haid yang pada umumnya dimulai pada waktu seorang perempuan berusia 40 - 45 tahun. Di Indonesia, menopause baru terjadi pada perempuan di atas 50 tahun.
Gejala
1) gejolak panas (badan terasa berhawa panas meski udara sekitar tidak terasa panas; sebagian orang sering menyebut dengan istilah ‘gerah’ ).
2) berkeringat banyak
3) mudah tersinggung
4) kelelahan
5) depresi
6) jantung berdebar-debar
7) sukar tidur
8) libido menurun
9) gangguan berkemih
10) nyeri saat sanggama
11) perut kembung
12) pusing-pusing
13) kejang-kejang
14) rambut rontok (Endang, 2008).
Upaya menyikapi krisis menopause dan andropause antara lain dengan:
1) menikmati kegiatan yang selama ini tidak dilakukan karena kesibukan rutin.
2) ikut kursus atau sekolah lagi.
3) melakukan kegiatan sosial dan budaya.
4) menjalani karier baru yang dulu sama sekali tak terpikirkan.
5) saling memberi dan menerima dukungan dalam keluarga.
6) meningkatkan hidup spiritual (Endang, 2008).
b)      Aspek Gender dalam Kesehatan Pasca Reproduksi
Kita perlu melihat aspek gender dalam kesehatan reproduksi lansia karena beberapa alasan penting, antara lain:
1.      lansia seluruhnya, perempuan dan laki-laki seharusnya mendapat perhatian yang sama. Hal ini diperlukan agar kualitas hidup lansia tetap terjaga baik secara fisik maupun mental.
2.      meyakinkan kepada pihak terkait untuk memberikan pelayanan kesehatan yang seimbang kepada lansia laki-laki dan perempuan. Hal ini menjamin tersedianya jenis pelayanan yang dibutuhkan oleh lansia laki-laki dan perempuan tanpa ada salah satu pihak yang dirugikan (Endang, 2008).
c)      Kesenjangan Gender dalam Pelayanan Kesehatan Pasca Rproduksi
Tidak ada kesenjangan gender dalam hal ini apabila semua tempat pelayanan kesehatan secara seimbang menyediakan jenis pelayanan yang diperlukan lansia perempuan dan laki-laki, sehingga kesehatan pascareproduksinya dapat terjamin (Endang, 2008).
2.3.3   Pentingnya Penanganan Isu Gender dalam Kesehatan Reproduksi
Gender  mempunyai  pengaruh  besar terhadap kesehatan laki-laki dan perempuan. Hal itu semakin dirasakan dalam ruang lingkup kesehatan reproduksi antara  lain karena hal-hal  berikut :
2.3.3.2   Masalah kesehatan reproduksi dapat terjadi sepanjang siklus hidup manusia
Misalnya masalah incest yang terjadi  pada  masa kanak-kanak di rumah, masalah  pergaulan bebas pada masa remaja, kehamilan  remaja, aborsi yang tidak aman, kurangnya informasi tentang kesehatan reproduksi dan masalah kesehatan reproduksi  lainnya. Status social perempuan (termasuk anak perempuan) di masyarakat merupakan  penyebab  utama  masalah  kesehatan  reproduksi  yang dihadapi  perempuan. Akibatnya, mereka  kehilangan  kendali terhadap kesehatan, tubuh dan  fertilitasnya.
2.3.3.3   Perempuan lebih rentan dalam menghadapi resiko kesehatan reproduksi. Seperti kehamilan, melahirkan, aborsi tidak aman dan pemakaian alat kontrasepsi. Karena struktur alat reproduksinya; perempuan rentan secara social maupun biologis terhadap penularan IMS termasuk termasuk STDH/HIV/AIDS.
2.3.3.4   Masalah kesehatan reproduksi tidak bisa terpisahkan dari hubungan laki-laki dan perempuan. Namun keterlibatan, motivasi serta partisipasi laki-laki dalam kesehatan reproduksi dewasa ini masih sangat kurang.
2.3.3.5   Laki-laki juga mempunyai masalah kesehatan reproduksi, khususnya yang berkaitan dengan IM, termasuk HIV/AIDS. Karena itu, dalam menyusun strategi untuk memperbaiki kesehatan reproduksi harus diperhitungkan pula kebutuhan, kepedulian dan tanggung jawab laki-laki.
2.3.3.6   Perempuan rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (kekerasan domestik) atau perlakuan kasar, yang pada dasarnya bersumber pada subordinasi perempuan terhadap laki-laki atau hubungan gender yang tidak setara.
2.3.3.7   Kesehatan reproduksi lebih banyak dikaitkan dengan “urusan perempuan”, seperti bila menyebutkan akseptor KB, aborsi, pemeriksaan kehamilan, kemandulan, dan kematian ibu. Urusan tersebut memang dekat sekali dengan perempuan, baik dalam target sasaran maupun pelaku. Kesuksesan program KB selama ini berasal dari partisipasi perempuan yang mencapai 98%. Kematian karena aborsi meliputi sekitar 15% kematian ibu. Angka kematian ibu mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2000). Semua ukuran dikatkan dengan perempuan, karena target dan korbannya adalah perempuan.
2.3.4  Telaah lima tahunan, ICPD+5, 1999
2.3.4.1      Membahas tentang kemajuan dan kegagalan pemerintah dalam program kependudukan.
2.3.4.2      Isu kontroversial (isu seksualitas dan aborsi, kontrasepsi darurat/emergency contaception).
2.3.4.3      Target baru 2015 untuk mengukur penerapan ICPD :
a.       Akses terhadap pendidikan dasar, tahun 2015 meningkatkan peran anak laki-laki dan perempuan 90% untuk SD sebelum 2010 menurunkan buta huruf sebagian pada tahun 2015
b.      Semua fasilits KB menyediakan kontrasepsi yang aman dan efektif, pelayanan kebidanan, PSIR, metode perlindungan mencegah infeksi secara langsung (rujukan)
c.       Mengurangi kesenjangan anara proporsi individu pemakai alat kontrasepsi (alkom) dengan individu ysng ingin membatasi jumlah anak tanpa target/kuota
d.      Pelayanan pencegahan HIV untuk laki-laki dan perempuan usia 15-24 termasuk penyediaan kondom, pemeriksaan secara sukarela, konseling dan tindak lanjut.

BAB 3
PENUTUP
3.1   Kesimpulan
3.1.1    Kesehatan, morbiditas (gangguan kesehatan) dan kematian perempuan yang berkaitandengan kehamilan. Termasuk didalamnya juga maslah gizi dan anemia dikalangan perempuan, penyebab serta komplikasi dari kehamilan, masalah kemandulan danketidaksuburan; Peranan atau kendali sosial budaya terhadap masalah reproduksi.Maksudnya bagaimana pandan gan masyarakat terhadap kesuburan dan kemandulan, nilai anak dan keluarga, sikap masyarakat terhadap perempuan hamil.
3.1.2    Intervensi pemerintah dan negara terhadap masalah reproduksi. Misalnya program KB,undang-undang yang berkaitan dengan masalah genetik, dan lain sebagainya.
3.1.3    Tersedianya pelayanan kesehatan reproduksi dan keluarga berencana, serta terjangkaunya secara ekonomi oleh kelompok perempuan dan anak-anak.
3.1.4    Kesehatan bayi dan anak-anak terutama bayi dibawah umur lima tahun.
3.1.5    Dampak pembangunan ekonomi, industrialisasi dan perubahan lingkungan terhadap kesehatan reproduksi.
3.2   Saran
 Sehubungan dengan fakta bahwa fungsi dan proses reproduksi harus didahului oleh hubungan seksual, tujuan utama program kesehatan reproduksi adalah meningkatkan ksesadaran kemandirian wanita dalam mengatur fungsi dan proses reproduksinya, termasuk kehidupan seksualitasnya, sehingga hak-hak reproduksinya dapat terpenuhi, yang pada akhirnya menuju penimgkatan kualitas hidupnya.
 

DAFTAR PUSTAKA

www.bkkbn.go.id. Endang Parwieningrum. (2008). Gender dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta
www.bkkbn.go.id. widyaiswara (2009). Gender, kekuasaan, dan kesehatan Reproduksi.
www.blogspot.com. Azim (2012). Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender.
www.blogspot.com. Diah Widyatun (2012). Konsep Dasar Kesehatan Reproduksi. Semarang
www.depkes.go.id. Anonim. Isu Gender dalam Kesehatan Reproduksi.
www.elearning.ac.id. Anonim.  Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender.
www.iawg.net. Anonim (2010). Kesehatan Reproduksi.
www.id.scribd.com. Riska Asri Puspita Dewi (2012). Kesehatan Reproduksi.Surabaya.
www.usu.ac.id. Sri Rahayu Sanusi (2005). Hak Kesehatan Reproduksi, Definisi, Tujuan, Permasalahan, dan Faktor-faktor Penghambatnya. Sumatra Utara